Assalamu’alaikum,
Sebelumnya, demi Allah, ini cerita yang sesungguhnya, bukan karangan. Begini ustadz, saya baru saja lulus dari perguruan tinggi. Setahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang laki-laki. Pendekatan kami lakukan untuk saling mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan kami supaya lebih dekat (“pacaran”). Niat kita berpacaran adalah, untuk ke jenjang pernikahan.
Sebelumnya, demi Allah, ini cerita yang sesungguhnya, bukan karangan. Begini ustadz, saya baru saja lulus dari perguruan tinggi. Setahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang laki-laki. Pendekatan kami lakukan untuk saling mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan kami supaya lebih dekat (“pacaran”). Niat kita berpacaran adalah, untuk ke jenjang pernikahan.
Namun, baru 3 pekan, orang tua saya, terutama ibu saya tidak setuju karena alasan harga diri kelurga. Alasannya adalah:
1. Ibu saya tidak rela jika saya mendapatkan laki-laki yang menurut beliau jelek. Secara terang-terangan, ibu saya mengatakan hal itu pada saya.
2. Nilai Indeks Prestasi saya lebih tinggi di atas pacar saya, dan oleh keluarga saya, saya dianggap lebih baik daripada pacar saya.
3. Keluarga saya berpendapat, laki-laki pilihan saya bukan pria baik-baik, karena dianggap merayu saya, sehingga saya mau menikah dengannya. Padahal, Demi Allah…, dia orang baik-baik, taat beragama, mengerti dengan baik tentang Islam, dan dari keluarga taat juga.
1. Ibu saya tidak rela jika saya mendapatkan laki-laki yang menurut beliau jelek. Secara terang-terangan, ibu saya mengatakan hal itu pada saya.
2. Nilai Indeks Prestasi saya lebih tinggi di atas pacar saya, dan oleh keluarga saya, saya dianggap lebih baik daripada pacar saya.
3. Keluarga saya berpendapat, laki-laki pilihan saya bukan pria baik-baik, karena dianggap merayu saya, sehingga saya mau menikah dengannya. Padahal, Demi Allah…, dia orang baik-baik, taat beragama, mengerti dengan baik tentang Islam, dan dari keluarga taat juga.
Akhirnya, kita berdua memutuskan untuk melanjutkan hubungan kita
secara diam-diam, dan sampai saat ini masih berlanjut. Saya tahu, apa
yang telah saya lakukan adalah kesalahan. Tapi, saya tetap yakin pada
pendirian saya, bahwa dia memang yang terbaik buat saya. Saya berpikir
tidak hanya menggunakan logika, namun menggunakan hati nurani saya.
Entah mengapa, hubungan kami yang masih berlanjut tercium oleh
keluarga saya. Jelas saja, ibu saya dengan kasarnya mengancam dan
mengutuk saya, “Kalau kamu masih mau belain dia, aku bukan ibumu lagi.”
Tak hanya itu, ibu, bapak, adik saya juga menghina fisiknya. Saya tahu,
Ridha Allah itu ada pada ridha orang tua. Namun, apakah saya sebagai
anak tidak memiliki hak asasi untuk memilih dan untuk bahagia?
Semuanya benar-benar membuat saya merasa sakit hati. Yang ingin saya tanyakan:
1. Pantaskah sesama muslim menghina yang telah diciptakan oleh Allah — ta’ala –?
2. Apakah saya, walaupun seorang anak, tidak pantas bahagia dan tidak boleh mengikuti hati nuraninya?
3. Apakah Islam lebih berpihak kepada orang tua yang telah berhaji, sehingga orang tua sangat mudah mengutuk anaknya sendiri?
4. Apakah alasan mereka melarang saya menikah dengan lelaki itu, telah sesuai dengan ajaran Islam?
5. Apakah saya tidak diperkenankan mengikuti hati nurani saya? Saya benar-benar merasa terzhalimi gara-gara keluarga saya. Semua itu membuat saya kehilangan semangat untuk mencari pekerjaan.
Saya benar-benar membutuhkan nasihat dari Bapak/Ibu pengasuh. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum
1. Pantaskah sesama muslim menghina yang telah diciptakan oleh Allah — ta’ala –?
2. Apakah saya, walaupun seorang anak, tidak pantas bahagia dan tidak boleh mengikuti hati nuraninya?
3. Apakah Islam lebih berpihak kepada orang tua yang telah berhaji, sehingga orang tua sangat mudah mengutuk anaknya sendiri?
4. Apakah alasan mereka melarang saya menikah dengan lelaki itu, telah sesuai dengan ajaran Islam?
5. Apakah saya tidak diperkenankan mengikuti hati nurani saya? Saya benar-benar merasa terzhalimi gara-gara keluarga saya. Semua itu membuat saya kehilangan semangat untuk mencari pekerjaan.
Saya benar-benar membutuhkan nasihat dari Bapak/Ibu pengasuh. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Fulanah
Yogyakarta
Yogyakarta
Jawaban
Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh,
Ukhti (saudara (perempuan) ku-red)… Sebelumnya, ukhti harus tahu,
bahwa menjalin hubungan dengan laki-laki bukan mahram sebelum pernikahan
alias pacaran adalah haram sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para
ulama. Karena pacaran adalah pintu dari pintu-pintu perzinaan, sedangkan
Allah — ta’ala — telah melarang kita untuk mendekati perzinaan, Allah
berfirman,
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kalian mendekati zina, karena ia merupakan suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra’: 32)
Bahkan, bisa dikatakan pacaran adalah bagian dari perzinaan, sebagaimana sabda Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam –,
“Sesungguhnya Allah menakdirkan untuk anak Adam bagian zina yang ia
pasti akan melakukannya. Maka, zina mata adalah melihat, zina lisan
adalah dengan bertutur kata, hatinya berangan-angan dan menyenangi
sesuatu, sedangkan kemaluannya, bisa jadi ia menuruti semua itu, dan
bisa juga ia tidak menurutinya.” (Riwayat Bukhari no.6243, Muslim
no.2657)
Ukhti… Islam tidaklah melarang sesuatu kecuali karena adanya banyak
kerusakan dan kerugian di dalamnya, atau karena kerusakan yang
ditimbulkan lebih besar dari pada manfaatnya, baik kerusakan yang
ditimbulkan bisa secara langsung kita rasakan atau tidak secara
langsung.
Oleh karena itu, hendaklah ukhti berhenti berhubungan dengan lelaki
tersebut seraya memohon ampun kepada Allah. Jika memang ukhti sudah siap
untuk menuju ke jenjang pernikahan dan ingin segera menikah, maka
tempuhlah cara-cara yang dibenarkan oleh syariat, yaitu Anda meminta
lelaki tadi untuk segera melamar ukhti jika memang ukhti sudah mantap
dengan pilihan ukhti, tentunya setelah mencermati akan tingkat
keshalihan dan akhlaknya.
Adapun sikap orang tua ukhti yang terkesan mencela dan menghina
lelaki pilihan ukhti, maka tetap tidak bisa dibenarkan oleh syariat,
karena Islam adalah agama yang mulia. Seluruh etika kehidupan telah
diatur dalam Islam. Dalam Islam, tidak boleh seseorang mencaci dan
menghina muslim lainnya. Sebab, mencaci muslim merupakan perbuatan yang
dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini seperti dalam sabda Nabi —
shollallohu ‘alaihi wa sallam –, “Mencaci orang Islam (muslim) adalah
perbuatan fasik dan membunuhnya adalah perbuatan kufur.” (Riwayat
Bukhari, Muslim)
Dalam hadis lain Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam —
bersabda, “Seorang muslim itu bersaudara terhadap muslim lainnya, ia
tidak boleh menganiaya dan menghinanya. Seseorang cukup dianggap berlaku
jahat karena ia menghina saudaranya sesama muslim.” (Riwayat Muslim)
Termasuk perbuatan mencaci muslim di antaranya adalah menyakiti,
mencela, dan menghina dengan menyebutkan sifat-sifat buruk padanya.
Ingatlah firman Allah,
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki atau
perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al-Ahzab : 58)
Apakah seorang anak tidak pantas untuk bahagia, apakah seorang anak tidak boleh mengikuti hati nuraninya dalam memilih calon pasangan hidupnya?
Ukhti… seorang anak dalam Islam berhak untuk bahagia, dia juga punya
hak untuk memilih siapa calon suaminya. Namun, hendaklah ukhti ingat,
bahwa keputusan menikah adalah keputusan yang sangat besar dalam
perjalanan hidup seorang wanita. Dan konsekuensinya, akan dia rasakan
seumur hidup. Oleh karena itu, hendaklah ekstra hati-hati dalam
menghadapi masalah ini.
Bertukar pendapatlah dengan orang yang paling berhak dijadikan
rujukan, yakni orang tua Anda. Biasanya, mereka lebih jernih dalam
melihat keadaan dari pada kita, karena mereka lebih pengalaman dalam
mengarungi kehidupan, dan lebih matang pikirannya. Tentunya, keputusan
yang diambil dari kesepakatan antara kita dengan mereka, itu lebih baik
dan lebih matang dari pada keputusan dari satu pihak saja.
Ditambah lagi, jika kita menjalani suatu keputusan atas restu orang
tua, tentunya mereka akan selalu mendoakan kebaikan bagi kita, dan tidak
diragukan lagi, doa mereka akan sangat mustajab dan menjadikan hidup
kita penuh berkah, tenteram, dan bahagia dunia akhirat.
Apakah Islam lebih berpihak kepada Orang Tua yang telah berhaji, sehingga orang tua sangat mudah mengutuk anaknya sendiri?
Doa orangtua kepada anaknya memang merupakan doa yang sangat
mustajab, kecuali jika doa keburukan orang tua kafir kepada anaknya
tanpa alasan benar, maka tidak perlu dirisaukan, hal ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –.
Dari Abu Ja’far bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah —
shollallohu ‘alaihi wa sallam — bersabda, “Tiga doa yang pasti dikabulkan oleh Allah; doa orang yang terzhalimi, doa seorang musafir, dan doa orangtua kepada anaknya.” (Riwayat Ahmad)
Oleh karena itu, seorang anak hendaknya ekstra hati-hati dalam
bermuamalah dengan kedua orang tua, dan di sinilah pentingnya komunikasi
antara orang tua dengan anaknya. Jangan kita lupakan pula, bahwa kita
terlahir di dunia, -dari bayi yang tidak tahu apa-apa, hingga dewasa
sehingga kaya ilmu-, adalah atas jasa orang tua kita. Oleh karena itu,
Islam sangat menekankan masalah berbakti kepada orang tua, membahagiakan
mereka, dan tidak durhaka pada mereka.
Apakah alasan mereka melarang saya menikah dengan lelaki itu, telah sesuai dengan ajaran Islam?
Dalam ajaran agama Islam, orang tua tidak boleh menolak seseorang
untuk menikahi putrinya hanya dikarenakan cacat fisik. Kebaikan akhlak
dan pemahaman agama yang baik merupakan sesuatu yang lebih berharga dari
segalanya terutama masalah cacat fisik. Namun, bukan berarti tidak
boleh sama sekali mengesampingkan fisik, seorang wanita boleh
mempertimbangkan fisik calon pasangannya.
Apakah saya tidak diperkenankan mengikuti hati nurani saya?Saya benar-benar merasa terzhalimi gara-gara keluarga saya?
Ukhti… tidak ada orang tua yang ingin menzhalimi anaknya, apa yang
terjadi pada diri ukhti adalah bentuk perhatian orang tua terhadap
kebahagiaan anaknya, hanya saja mungkin ungkapan yang mereka gunakan
tidak tepat dan terkesan menayakiti.
Oleh karena itu, jika memang ukhti telah mantap dengan pilihan ukhti
-dengan catatan bagus agama dan akhlaknya- , maka hendaklah ukhti ajak
orang tua untuk diskusi dan lebih terbuka kepadanya, jelaskan alasan
yang mendasari langkah ukhti, jelaskan keuntungan dan kerugiannya, dan
jangan lupa berdoa kepada Allah.
Ingatlah selalu dan jangan sampai lupa, langkah untuk menikah adalah
langkah besar dalam kehidupan. Oleh karena itu, jangan sampai kita
melangkah, kecuali semuanya sudah jelas, serta orang tua setuju dan
merestui langkah besar ini. Wallahu a’lam. (***)
0 comments:
Post a Comment