Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz, ana mau bertanya, sebelumnya saya minta maaf hanya bisa lewat SMS. Saya sedang bimbang, ibu saya sudah meninggal dan kemarin seratus harinya. Ternyata ada amanah yang belum saya tahu. Kemarin saya tahu amanah itu, tapi berat bagi saya menjalankan amanah itu. Ada seorang laki-laki yang baik yang bisa ngertiin ibu saya, tapi sayang dia sudah beristri.
Ustadz, ana mau bertanya, sebelumnya saya minta maaf hanya bisa lewat SMS. Saya sedang bimbang, ibu saya sudah meninggal dan kemarin seratus harinya. Ternyata ada amanah yang belum saya tahu. Kemarin saya tahu amanah itu, tapi berat bagi saya menjalankan amanah itu. Ada seorang laki-laki yang baik yang bisa ngertiin ibu saya, tapi sayang dia sudah beristri.
Jujur saya sendiri pernah ada rasa, jauh sebelum dia menikah. Saya
anak terakhir dari empat saudara. Kakak-kakak saya tak pernah mengerti
saya. Hari-hari terakhir ibu, beliau ingin bertemu dengan orang itu,
tapi saya cegah karena istrinya seperti itu.
Ternyata sebelum meninggal, ibu minta agar orang itu menjagaku dalam pengertian menjadi istrinya, sementara orang itu sudah beristri dan punya seorang anak. Apakah saya jadi anak durhaka bila saya tidak menjalankan amanah itu? Jazakallahu khairan. Saya ingin jawabannya.
Ternyata sebelum meninggal, ibu minta agar orang itu menjagaku dalam pengertian menjadi istrinya, sementara orang itu sudah beristri dan punya seorang anak. Apakah saya jadi anak durhaka bila saya tidak menjalankan amanah itu? Jazakallahu khairan. Saya ingin jawabannya.
Jawaban:
Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh
Alhamdulillah, Saudari sempat menjumpai ibu sebelum meninggalnya, semoga itu bisa menjadi ladang pahala bagi Saudari. Namun perlu kami garis bawahi pada saat ibu meninggal, bahwa segala ibadah itu harus ada tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya. Acara 100 hari, 40 hari, 7 hari, dan seterusnya demi memperingati hari kematian. Sekali lagi, itu tidak dituntunkan oleh Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -, sehingga perbuatan tersebut masuk kategori yang diharamkan.
Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh
Alhamdulillah, Saudari sempat menjumpai ibu sebelum meninggalnya, semoga itu bisa menjadi ladang pahala bagi Saudari. Namun perlu kami garis bawahi pada saat ibu meninggal, bahwa segala ibadah itu harus ada tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya. Acara 100 hari, 40 hari, 7 hari, dan seterusnya demi memperingati hari kematian. Sekali lagi, itu tidak dituntunkan oleh Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -, sehingga perbuatan tersebut masuk kategori yang diharamkan.
Selanjutnya, dalam permasalahan Saudari mengenai amanah ibu, jika
amanah ibu Saudari tidak ditujukan kepada Saudari secara langsung,
tetapi merupakan permintaan ibu Saudari kepada si fulan. Maka bagi si
fulan berhak memilih, apakah dia akan melaksanakannya atau tidak itu
tergantung madharat dan maslahat yang berkaitan dengan dirinya dan siapa
saja yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Adapun Saudari, karena dalam hal itu tidak diperintah secara
langsung, Saudari boleh menerima lamaran fulan (kalau dia melamar Anda)
dan juga boleh menolaknya.
Adapun jika amanah ibu itu ditujukan kepada Saudari (dengan kata lain: ibu memerintahkan Saudari untuk menikah dengan si fulan), maka dalam masalah ini (nikah), Saudari punya hak untuk menawar berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas – rodhiyallohu ‘anhu -,
Adapun jika amanah ibu itu ditujukan kepada Saudari (dengan kata lain: ibu memerintahkan Saudari untuk menikah dengan si fulan), maka dalam masalah ini (nikah), Saudari punya hak untuk menawar berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas – rodhiyallohu ‘anhu -,
أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتْ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا
وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Bahwasanya ada seorang gadis (dewasa) menghadap kepada
Rasulullah (mengadu) dan dia menyatakan bahwa ayahnya telah
menikahkannya sedangkan dia terpaksa (tidak ridha dengan laki-laki
pilihan ayahnya). Maka Rasulullah memberikan pilihan kepadanya (untuk
tetap menikah atau membatalkan pernikahan)” (Riwayat Ahmad, Abu
Dawud dan Ibnu Majah secara mursal dan diriwayatkan dari jalan Abu Ayyub
bin Suwaid secara maushul (tersambung sanad-nya). Demikian juga dalam
riwayat Ma’mar bin Salman ar-Raqi)
Para ulama menyimpulkan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa wanita
dewasa (gadis maupun janda) tidak boleh dipaksa menikah. Dia hanya
dinikahkan jika dia ridha. Adapun wanita yang belum dewasa, maka ayahnya
berhak menikahkannya dengan laki-laki yang sepadan dengannya (kufu’),
baik dia ridha atau tidak.
Dan dalil bahwa wanita dewasa tidak boleh dipaksa menikah tanpa ridha
adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasai dari Aisyah (yang akan
disebutkan di belakang). Sedangkan dalil bahwa gadis kecil (di bawah
usia 9 tahun) boleh dinikahkan oleh walinya (ayahnya) tanpa
sepengetahuan/keridhaannya adalah pernikahan Aisyah dan Rasulullah –
shollallohu ‘alaihi wa sallam – (saat itu Aisyah berumur 6 tahun).
Syekh Muhammad bin Ibrahim – rohimahulloh – mengemukakan, “Sudah
maklum bahwa salah satu syarat nikah adalah ridha kedua belah pihak.
Meskipun calon pengantin wanita adalah gadis, maka ayahnya tidak berhak
memaksanya (kalau gadis tersebut telah dewasa). Dalil-dalil masalah ini
sangat jelas. Dan inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul
Qayyim – rohimahulloh -.”
Sedangkan Syekh Abdur Rahman as-Sa’di – rohimahulloh – menyatakan:
“Pendapat yang shahih bahwa seorang ayah tidak berhak memaksa anak
gadisnya yang dewasa dan sehat akalnya untuk menikah dengan laki-laki
yang tidak dia ridhai. Karena seandainya seorang gadis tadi tidak boleh
dipaksa untuk menjual sesuatu dari harta yang dia miliki, maka gadis
tersebut lebih tidak layak untuk dipaksa menikah. Karena madharat dari
terpaksa menikah lebih besar dari pada madharat harta. Dan hadits-hadits
dalam masalah ini sudah sangat masyhur”.
Imam ash-Shan’ani – rohimahulloh – mengemukakan bahwa ‘illah
(alasan) bolehnya seorang gadis yang dipaksa menikah untuk membatalkan
pernikahannya adalah “keterpaksaan/tidak ridha”. Karena illah inilah
yang tertuang (ter-nash) dalam redaksi hadits. Sehingga dapat dipahami
bahwa seakan-akan Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Jika ananda terpaksa/tidak ridha, maka ananda berhak memilih (tetap menikah atau membatalkan pernikahan”.
Dan hal ini juga dikuatkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh an-Nasai dari Aisyah bahwasanya ada seorang gadis mengunjunginya
dan berkata bahwa ayahnya telah menikahkannya dengan sepupunya (anak
paman) dengan tujuan menjadikanku sebagai perantara untuk meninggikan
derajatnya dan si gadis sebenarnya terpaksa. Maka Aisyah berkata,
“Duduklah sampai Rasulullah datang. Ketika Rasulullah – shollallohu
‘alaihi wa sallam – datang, maka Aisyah menceritakan hal itu kepada
beliau, maka Rasulullah pun mengirim utusan untuk memanggil ayah si
gadis dan menyerahkan keputusan kepada si gadis. Maka gadis itu berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah ridha dengan apa yang
dilakukan ayahku (menikahkanku dengan sepupuku). Akan tetapi, aku hanya
ingin memberitahu kepada seluruh wanita bahwa orangtua tidak punya hak
dalam masalah ini.”
Dari kisah ini, bisa disimpulkan bahwa si gadis mengucapkan kalimat
ini di hadapan Nabi, sehingga diamnya Nabi adalah taqrir (hukum tersebut
disahkan dalam syariat) ucapan si gadis. Dan yang dimaksud
ketidakberhakan orangtua dalam masalah ini adalah tidak berhak memaksa,
karena konteks pembicaraan adalah dalam hal keterpaksaan gadis dalam
menikah.
Dari kedua hadits tersebut merupakan dalil bahwa jika akad nikah
belum dilaksanakan, maka pernikahan wajib dibatalkan (melalui keputusan
dari pemerintah atau departemen yang mewakilinya (KUA). Dan jika akad
nikah telah dilaksanakan, maka istri boleh mengajukan faskh (pemutusan
ikatan pernikahan) kepada pemerintah (KUA), sebagaimana yang dilalukan
oleh istri Tsabit bin Qais, dia menghadap Nabi dan berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit bin Qais dari sisi
akhlak maupun agamanya, akan tetapi aku khawatir terjerumus dalam
kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam –
bersabda, “Maukah engkau mengembalikan kebunnya (mahar yang dia berikan
kepadamu)?” dia berkata, “Ya”. Kemudian Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu dan talaklah dia dengan satu talak” (Riwayat Al-Bukhari)
Perlu diingat, bahwa dalam masalah pernikahan, yang berhak menikahkan
seorang wanita adalah walinya. Dan merupakan kesepakatan seluruh ulama
bahwa salah satu syarat menjadi wali adalah laki-laki. Namun dalam
permasalahan Saudari, yang memerintahkan untuk menikah adalah ibu.
Meskipun seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat agung bagi anak
dalam syariat Islam, dia tidak bisa menjadi wali untuk menikahkan
putrinya, dalam kondisi apapun, apalagi memaksanya menikah dengan
seorang laki-laki tertentu.
Hal ini juga didasarkan pada kewajiban wali (ayah) untuk meminta izin
kepada anak gadisnya ketika akan menikahkannya. Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Dan seorang gadis tidak dinikahkan, sampai ia dimintai izin” (Muttafaq ‘alaih).
Meminta izin kepada seorang gadis tidak cukup hanya memberitahunya
bahwa dia akan dinikahkan dengan si fulan. Akan tetapi, yang
bersangkutan harus menerangkan kepadanya siapa si fulan tersebut,
namanya, fisiknya, kekayaannya, nasab-nya, pekerjaannya, baik buruk
agamanya, dan lain-lain. Sehingga, si gadis memiliki gambaran tentang si
fulan dan dia memiliki pertimbangan apakah dia akan menyetujui
pernikahannya ataukah akan menolaknya.
Berdasarkan paparan hadits-hadits tersebut, seorang wanita dewasa
tidak dianggap durhaka ketika menolak untuk menikah dengan laki-laki
yang tidak dia sukai, sebagaimana dia tidak dianggap durhaka ketika
menolak memakan suatu makanan yang tidak dia sukai. (Syaikhul Islam
menyebutkan bahwa anak laki-laki tidak durhaka ketika tidak taat pada
ayahnya yang memaksanya untuk menikah dengan wanita yang tidak dia
sukai). Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber rujukan:
- Taudhihul Ahkam, syarah Bulughul Maram, syaikh al-Bassam, kitab nikah
- Subulus Salam, ash-Shan’ani, Kitab Nikah
- Taudhihul Ahkam, syarah Bulughul Maram, syaikh al-Bassam, kitab nikah
- Subulus Salam, ash-Shan’ani, Kitab Nikah
0 comments:
Post a Comment