Assalamu’alaikum, ustadz, saya mohon penjelasan dari segi
syariat, apakah memang dianjurkan menikahi seorang gadis yang masih
perawan? Apakah ada keutamaannya? Lebih utama mana jika seorang perjaka
berencana menikahi seorang janda karena niatnya ingin menolong? Demikian
ustadz, mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Terimakasih
sebelumnya.
Hamba Allah
Hamba Allah
Jawab
Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh
Menikah itu kombinasi ajaib dari sisi-sisi yang saling melengkapi. Ia di satu sisi adalah karunia, di sisi lain adalah tanggung jawab, di sisi berbeda adalah kebajikan bagi sesama, dan di berbagai sisi lain ia bisa menjadi kebutuhan fitrah, sarana memuaskan hasrat birahi secara halal, media memuliakan cinta sesama jenis dengan cara yang dibenarkan syariat, menggapai obsesi dengan anak dan harta, dan, beragam sisi lainnya. Kesemuanya bisa saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberi nuansa indah pada media agung yang disebut Pernikahan.
Menikah itu kombinasi ajaib dari sisi-sisi yang saling melengkapi. Ia di satu sisi adalah karunia, di sisi lain adalah tanggung jawab, di sisi berbeda adalah kebajikan bagi sesama, dan di berbagai sisi lain ia bisa menjadi kebutuhan fitrah, sarana memuaskan hasrat birahi secara halal, media memuliakan cinta sesama jenis dengan cara yang dibenarkan syariat, menggapai obsesi dengan anak dan harta, dan, beragam sisi lainnya. Kesemuanya bisa saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberi nuansa indah pada media agung yang disebut Pernikahan.
Berpangkal dari wujud nikah yang merangkum begitu banyak sisi
tersebut, maka orang yang ingin menikah juga berhak membangun
obsesi-obsesi halal seputar sisi-sisi yang melekat pada media
pernikahan.
Ia berhak membangun obsesi untuk bersenang-senang secara halal,
menikmati masa mudanya, bercengkerama dengan gadis perawan yang telah
sah menjadi istrinya, demikian pula sebaliknya, si istri dengan pemuda
idaman yang telah sah menjadi suaminya.
Itulah yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam —
kepada salah seorang sahabat beliau yang baru saja menikahi seorang
janda,
“Kenapa engkau tidak menikah seorang gadis sehingga kalian bisa
saling bercandaria?”…yang dapat saling menggigit bibir denganmu?”
(Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Di dalam satu riwayat disebutkan, “Kalian bisa saling tertawa dan
menggembirakan satu terhadap yang lain. ” (Shahih al-Bukhari: Kitab
an-Nafaqat, Bab ‘Aunul Mar’ah Zaujaha fi L4aladihi, juz 11, hal. 441.)
Di dalam satu riwayat lagi, “Sehingga engkau juga memiliki yang
dimiliki anak-anak gadis, berikut air liurnya. ” (Riwayat al-Bukhari dan
Muslim)
Itu artinya, menikahi seorang gadis juga “memborong” berbagai
maslahat dan kepentingan yang diabsahkan dalam Islam. Maka, orang yang
memilih menikahi gadis yang masih perawan demi tujuan-tujuan halal yang
bisa membantunya untuk semakin bertakwa kepada Allah, jelas telah berada
di jalur yang tepat, dan itu amat diapresiasi dalam Islam, seperti yang
diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — di atas. Tapi,
bagaimanapun, itu hanyalah satu alternatif dari sekian alternatif
pilihan.
Orang juga berhak menikah dengan wanita yang terbukti subur dan
penyayang terhadap anak, baik ia gadis –melalui penelitian medis, dan
juga kebiasaannya sehari-hari– ataupun janda. Karena memiliki banyak
keturunan juga tujuan absah dalam Islam, bahkan juga sangat dianjurkan.
Nabi bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكََاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ
“Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umatkudi hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita mandul, hadits No. 3227, dishahihkan oleh Ibnu Hibban No. 228)
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكََاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ
“Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umatkudi hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita mandul, hadits No. 3227, dishahihkan oleh Ibnu Hibban No. 228)
Ibnu Hajar memberi penjelasan, “Hadits ini dan hadits-hadits yang
senada yang banyak jumlahnya, meski sebagian di antaranya lemah,
memberikan motivasi untuk menikah dengan wanita yang bisa memberikan
keturunan.”
Di sini, ada sebuah rahasia penting tentang keragaman pilihan dalam
menikah. Tentu, seorang janda yang sudah menikah secara kongkrit bisa
memberi bukti bahwa ia wanita yang subur dan penyayang terhadap anak.
Maka, bila seorang pria lajang memilih menikah seorang janda beranak
dua misalnya, karena ia melihat wanita itu terbukti subur –dari jarak
kelahiran kedua anaknya– dan tampak begitu sangat menyayangi kedua
anaknya, maka pria tersebut juga berada di garis syariat. Karena
perintah atau anjuran Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dalam
hadits di atas juga sangatlah lugas, siapapun yang melaksanakan
substansi perintah tersebut, meski dengan menikah seorang janda, maka ia
telah menjalankan Sunnah Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –.
Begitu pula orang yang menikahi seorang janda karena alasan ingin
menolong janda tersebut. ditinggal wafat istrinya, Khadijah, Rasulullah —
shollallohu ‘alaihi wa sallam — mengalami kesedihan hebat. Saat itulah,
seorang wanita, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dengan pertanyaannya,
“Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?”
Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya,
“Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?”
Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.”
“Siapa yang gadis?” Tanya beliau lagi.
“Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr,” jawab Khaulah.
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi,
“Siapa yang janda?”
“Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.” Jawab Khaulah.
“Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?”
Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya,
“Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?”
Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.”
“Siapa yang gadis?” Tanya beliau lagi.
“Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr,” jawab Khaulah.
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi,
“Siapa yang janda?”
“Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.” Jawab Khaulah.
Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang
rumah tangga Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Hati beliau
tersentuh dengan penderitaan wanita Muhajirah ini. Beliau ingin membawa
Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya.
Lebih-lebih di saat itu, Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak
mendapatkan perlindungan.
Riwayat ini menegaskan tentang adanya anjuran menikahi janda bila
bertujuan meringankan beban hidupnya, dan itu termasuk dalam kategori
“tolong-menolong atas dasar ketakwaaan dan kebajikan.” Juga termasuk
yang mendapatkan kabar gembira, “Allah senantiasa menolong seorang hamba
selama si hamba menolong sesamanya.”
Suatu saat, Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — pernah bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang Bani Asy’ar itu bila terkena musibah kematian dalam peperangan sehingga istri-istri sebagian di antara mereka menjanda, atau keluarga sebagian mereka kekurangan makanan, mereka akan mengumpulkan makanan-makanan mereka dalam satu buntalan kain, baru mereka bagikan secara merata di antara mereka dalam satu nampan. Mereka bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya orang-orang Bani Asy’ar itu bila terkena musibah kematian dalam peperangan sehingga istri-istri sebagian di antara mereka menjanda, atau keluarga sebagian mereka kekurangan makanan, mereka akan mengumpulkan makanan-makanan mereka dalam satu buntalan kain, baru mereka bagikan secara merata di antara mereka dalam satu nampan. Mereka bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Demikian ungkapan rasa kasih beliau terhadap para janda. Menikahi
janda karena kondisinya yang miskin dan butuh pertolongan termasuk dari
bagian sunnah yang dapat dipahami dari hadits ini. Dengan demikian,
kedua pilihan tersebut –menikahi gadis atau janda– sama-sama bisa
berada di garis anjuran syariat, keduanya adalah alternatif, dan
siapapun berhak memilih mana yang baginya lebih ia minati.
Nah, persoalannya, tengoklah kemampuan diri dan juga kapasitas yang
ada dalam diri kita masing-masing. Teliti dan cermati kebutuhan yang
berjalan selaras dengan kondisi jiwa kita, kebutuhan fisik kita,
kecenderungan hati kita, dan segala wujud alat analisa yang tersebar
dalam diri kita.
Praktisnya, bila seseorang berkeinginan menikahi seorang janda,
jangan ia mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri yang ingin ia capai
dengan menikah. Teliti dan cermati, bila ia menikahi janda tersebut,
apakah segala keinginannya untuk bercengkerama, bersenang-senang secara
halal, melampiaskan kebutuhan ragawinya yang secara fitrah butuh
dilampiaskan, apakah semua itu dapat dicapai? Kalaupun tak sepenuhnya,
minimal hingga batas ia tak perlu mengumbarnya dengan cara yang haram!
Atau, misalnya dapat dipenuhi sisanya dengan berpoligami secara sehat,
apakah istri pertama (wanita janda yang ia nikahi tersebut) rela
berbagi?
Bila pilihannya adalah menikahi seorang gadis, dapatkan gadis itu
memenuhi kebutuhannya soal anak misalnya. Kalau memang bisa, adakah
kelebihan si janda dibandingkan si gadis yang dapat mendorongnya untuk
lebih memilih janda tersebut?
Berbagai pilihan terbentang di depan kita, dan Islam memang agama
yang maslahat. Maka ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan mubah
tersebut, gunakanlah kebijakan analisa kita untuk dapat mencapai
sebesar-besarnya maslahat bagi diri kita, agama kita, dunia dan akhirat
kita secara keseluruhan. Gadis atau janda bukanlah masalah, yang menjadi
masalahnya: Dengan siapakah di antara keduanya Anda merasa bisa hidup
berbahagia dan sejahtera? Pilihan ada di tangan Anda. Wallaahul muwaffiq
0 comments:
Post a Comment