Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Saya wanita 22 tahun
,saya sedang mengalami konflik rumah tangga dan ada di ambang
perceraian. Sebelum hal itu terjadi, saya ingin berikhtiar untuk mencari
solusi.

Selama menikah dia tidak pernah memberi saya nafkah,tak pernah
meminta saya untuk tinggal serumah,dia datang ke rumah orang tua (maaf)
hanya saat “butuh” saja. Selama menikah, hanya selama 14 hari dia datang
menjenguk saya, itupun tidak sampai 24 jam.
Bulan Januari 2012, saya melahirkan. Tiga hari dia menemani saya,saat
saya operasi dia tidak ikut mendampingi,hanya menunggu dari luar.
Sampai sekarang (anak saya berusia 5 bulan) dia tidak pernah datang
mengunjungi kami.
Saat saya ke rumah mertua, saya di usir beserta orang tua saya. Saat
saya mendatanginya, dia kabur dan menghindar. Padahal, saya membutuhkan
surat-surat untuk mengurus akte anak saya. Namun dia tidak bersedia
memberikannya, saya minta tolong KUA,dan KUA memanggil dia 2 kali namun
ia tidak datang. Saya menyewa pengacara untuk menuntutnya secara hukum,
namun ia juga tidak datang, apa yang harus saya lakukan?Dia tidak
menceraikan saya, tapi saya tidak tau apa yang harus saya lakukan
terhadap sikapnya. Orang tua saya ingin kami bercerai karena mereka
sudah sakit hati terhadap perlakuannya pada saya. Saya benar-benar
merasa dilema dengan semua ini. Wassalamu ‘alaikum warahmatullah
wabarakatuh.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmratullahi wabarakatuh. Saudari, semoga Allah merahmati kita. …
Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan melainkan bersabar atas cobaan
yang menimpa Saudari. Sungguh menyakitkan dan berat cobaan yang Saudari
hadapi, namun seorang muslim yang baik ia akan senantiasa bersabar dan
berusaha mengevaluasi diri atas apa yang ia telah perbuat.
Mungkin itu merupakan teguran dari Allah atas kesalahan Saudari dalam
mengawali rumah tangga yang didahului dengan hamil sebelum menikah.
Karena pacaran, apalagi sampai hamil sebelum menikah merupakan dosa
besar. Dan hal itu menuntut kewajiban untuk taubat nasuha kepada Allah
dan mengiringinya dengan amal-amal kebajikan dengan harapan bisa
menghapuskan keburukan-keburukan yang telah dilakukan.
Meski begitu, sepantasnya Saudari bersyukur kepada Allah, karena Dia
masih memerhatikan Saudari dengan memberikan cobaan sebagai penghapus
dosa-dosa sebelumnya atau justru akan meninggikan derajat Saudari.
Adapun dilema yang Saudari hadapi, maka dalam Islam membolehkan gugat
cerai. Gugat cerai atau permintaan cerai dari pihak istri dalam syariat
islam ada dua macam, yaitu khulu’ dan fasakh.
Khulu’ adalah perpisahan suami dengan istrinya dengan tebusan harta
yang diberikan oleh istri kepada suaminya. (Fiqhus Sunnah (II/253)
Hikmah disyariatkannya khulu’, secara umum adalah untuk menghindari
adanya pelanggaran terhadap batasan-batasan syariat bagi pasutri berupa
perlakuan yang baik dan pelaksanaan kewajiban dari masing-masing suami
istri. Dan lebih khususnya, khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan
kerugian yang menimpa istri karena keburukan pergaulan suami atau karena
dampak buruk pada istri jika harus tinggal bersama dengan orang yang ia
benci atau tidak disukai.
Allah berfirman,
وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ
اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang
yang zhalim.” (al-Baqarah: 229)
Jika istri telah mengajukan khulu’, kemudian suami menerima gugatan
istrinya, maka terputuslah hubungan suami-istri antara keduanya, dan
istri boleh menikah lagi dengan orang lain setelah menunggu masa iddah
(satu kali masa haid), dan tidak dihitung talak. Artinya, jika suami
belum pernah mentalak istrinya, kemudian terjadi perpisahan karena
khulu’, dan suatu hari suami atau istri ingin kembali lagi, maka mereka
boleh kembali dengan akad baru.
Hal ini terwujud tentunya jika suami menerima gugatan cerai dari
istrinya dan istri membayar tebusan harta kepada pihak suami sesuai
kesepakatan mereka berdua. Namun kendala datang jika suami menolak
menerima gugatan cerai, ia juga menolak menceraikannya, belum ditambah
kondisi suami yang tidak acuh kepada istrinya seperti kondisi yang anti
hadapi. Bagaimana solusinya?
Ketahuilah, wahai Saudariku, dalam kondisi ini, hakim (pengadilan)
bisa memaksa suami untuk menerima khulu’. Berdasarkan makna zhahir
hadits Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhu -,
“Istri tsabit bin Qais datang dan menghadap Nabi – shallallahu
‘alaihi wa sallam – seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela
Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, akan tetapi aku takut akan
menjadi kufur.’ Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam –
bersabda, ‘Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?’ Ia
menjawab, ‘Ya’.Kemudian kebun itu dikembalikan kepada Tsabit bin Qais
dan beliau menyuruhnya untuk menceraikan istrinya. [Hadits shahih,
riwayat Bukhari no. 5276).
Dalam hadits ini, Rasulullah memerintahkan Tsabit untuk menerima
kebun yang dulu dijadikan mahar dan menceraikan istrinya. Hal ini
menunjukkan bahwa pengadilan bisa dan boleh memaksa suami untuk menerima
khulu’ jika memang itu dipandang lebih maslahat.
Selain itu, Saudari juga bisa menggugat cerai dengan alasan suami
tidak memberi nafkah yang merupakan kewajiban suami kepada istrinya.
Jika gugatan ini diterima oleh pengadilan, maka pengadilan setelah
menerima bukti-bukti bisa membatalkan pernikahan Saudari, yaitu
pemutusan hubungan suami istri oleh pengadilan tanpa ada kompensasi dari
pihak istri yang harus diberikan kepada suami.
Saudariku …. Perlu diingat, istri yang meminta cerai dari suaminya
tanpa alasan syar’i adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam, bahkan
sang istri terancam tidak mendapatkan bau surga. Contohnya bila keadaan
rumah tangga mereka harmonis, tidak ada percekcokan maupun pertengkaran
yang menuntut perceraian.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .
“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan
(yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi Surga.”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no:2226)
Adapun alasan bolehnya istri menggugat cerai adalah alasan yang
dibolehkan oleh syariat, seperti sudah benci tinggal bersama suaminya
karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut
dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah dalam ketaatan
kepadanya. Bahkan, istri disunahkan meminta cerai jika suami meremehkan
(mufarrith) hak-hak Allah. Bisa juga istri wajib meminta cerai jika
suami tidak pernah shalat meskipun ia harus membayar kompensasi kepada
suami. Hal itu lebih baik daripada hidup dengan suami yang tidak pernah
shalat sama sekali.
Meskipun meminta cerai itu disyariatkan dengan alasan-alasan di atas
–selain gugat cerai yang wajib hukumnya-, namun jika istri mau bersabar
dan mencari pahala untuk mendidik suami lebih baik lagi maka tidak
mengapa ia mempertahankan bahtera rumah tangganya.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk mampu menjadikan rumah
tangga kita harmonis, penuh kasih dan sayang dan meniti aturan-aturan
islam yang sempurna. Wallahu a’lam. (***)
Dijawab oleh Ustadz Agus Susehno, Lc. dari Pondok Pesantren al-Ukhuwah Sukoharjo
0 comments:
Post a Comment