Assalamualaikum Ustadz, ada yang ingin saya tanyakan. Saya sudah
bertunangan. Tapi karena saya tidak pernah merasa bahagia bersamanya,
maka saya ingin berpisah,dan semua sudah terlaksana dengan musyawarah
dan baik-baik saja, tapi beberapa bulan kemudian kami berkomunikasi lagi
lewat telpon tanpa sepengetahuan orang tua dan kami menjalin hubungan
lagi. Tapi, orang tua saya melarang keras karena merasa sudah saya
permalukan dan sekarang saya ingin kembali lagi. Menurut orang tua, itu
sama saja bikin malu dua kali keluarga besar saya. Tapi kali ini saya
benar-benar baru sadar bahwa saya cinta dia ustadz. Dan orang tua saya
memberi pilihan, orang tua atau lelaki itu. Akhirnya saya pilih orang
tua. Apakah keputusan saya tidak termaafkan Ustadz, karena saya
mengecewakan mantan tunangan saya untuk kedua kalinya? Dan bagaimana
bila ditinjau dari sisi syariat Ustadz?
Mumum
Jawaban
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Ukhti yang saya hormati, pertanyaan Anti tentang dosa tidaknya wanita
yang meninggalkan tunangannya adalah pertanyaan tentang realita yang
sering terjadi belakangan ini. Namun, terkadang makna pertunangan masih
bias, artinya definisi pertunangan itu masih belum jelas karena setiap
orang mendefinisikan sesuai pengetahuan mereka masing-masing.
Karenanya, sebelum membahas hukum membatalkan pertunangan atau
meninggalkan tunangan, kita harus mengenal terlebih dahulu definisi dan
maksud dari pertunangan.
Hakikat pertunangan dan hukumnya
Pertunangan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah bersepakat akan menjadi suami istri.
Dari definisi ini, kita mengenal bahwa pertunangan itu hanyalah
kesepakatan antara pria muslim dengan wanita muslimah untuk menikah di
waktu tertentu, karena pada saat itu keduanya masih ingin menyelesaikan
studi mereka, atau suami masih ingin merawat kedua orang tuanya setahun
atau dua tahun lagi.
Bertolak dari hal ini, maka pertunangan hukum asalnya adalah mubah
karena hanya sebuah kebiasan di masyarakat, selama tidak diiringi dengan
hal-hal lain yang dilarang agama. Hal ini berbeda dengan khitbah
(lamaran) yang memang ada dasar khusus dari syariat. Karena khitbah
adalah permintaan resmi yang disampaikan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan dengan maksud yang jelas yaitu menikahinya.
Jika pertunangan hukum asalnya mubah selama tidak diiringi dengan
hal-hal yang dilarang syariat, adapun khitbah maka hukumnya juga mubah
menurut jumhur ulama berdasarkan firman Allah, “Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran” (al-Baqarah: 235) dan
hukum khitbah (meminang) bisa sunnah menurut syafi’iyyah berdasarkan
perbuatan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang mengkhitbah Aisyah
bintu Abu Bakar dan juga mengkhitbah Hafshah bintu Umar selama tidak
ada penghalang-penghalang khitbah seperti wanita yang haram ia nikahi
atau wanita yang masih dalam masa iddah.
Adapun pertunangan yang terjadi belakangan ini, yaitu kesepakatan
untuk saling menikah tanpa batas waktu yang ditentukan, mereka terus
dalam status tunangan dan telah melakukan perbuatan-perbuatan selayaknya
suami istri. Itu adalah budaya barat yang jelas-jelas diharamkan
syariat islam. Karena yang melegalkan seseorang melakukan perbuatan
selayaknya suami istri hanyalah akad pernikahan yang resmi.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menegaskan, sentuhan
lawan jenis bukan mahram adalah perkara terlarang, apalagi hubungan
layaknya suami istri.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Seandainya kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan
jarum dari besi, niscaya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita
yang tidak halal baginya.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam
al-Kabir XX/211 dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani v dalam
ash-Shahihah)
Demikian pula mengikuti kebiasaan mereka yaitu pertunangan yang
diikuti tukar cincin, pakai baju warna tertentu, perayaan yang bercampur
di dalamnya laki-aki dan perempuan. Itu semua adalah hal baru yang
diada-adakan, bentuk kemaksiatan yang jelas, dan juga merupakan bentuk
tasyabuh dengan orang-orang kafir.
Pertunangan semacam ini adalah perkara baru, karena islam mengajarkan
mengajarkan kepada orang yang ingin menikah untuk mengkhitbah (melamar)
wanita tersebut melalui walinya. Bukan justru perjanjian untuk menikah
yang diumumkan seperti halnya akad pernikahan dan diiringi kemaksiatan
seperti campur baur laki-laki dengan wanita bukan mahram.
Pertunangan semacam ini adalah kemaksiatan, karena antara pihak
laki-laki dengan wanita seling menyentuh, berbicara mesra, dan lain
sebagainya. Padahal mata, lisan, tangan, dan hati seseorang itu bisa
berzina. Mata yang memandang wanita bukan mahram adalah bentuk zina
mata, lisan yang berbicara dengan mesra dan tangan yang bergandengan
atau saling menyentuh adalah bentuk zina, demikian pula hati yang saling
memikirkan.
Pertunangan semacam ini juga merupakan bentuk tasyabuh karena tukar
cincin adalah kebiasaan orang-orang kafir. Sebagian mengatakan itu
kebiasaan Mesir kuno, sebagian lain itu kebiasaan Yahudi, dan ada juga
yang menyatakan itu kebiasaan orang-orang Nasrani. Yang terpenting itu
adalah kebiasaan orang-orang kafir, yang kita dilarang untuk tasyabuh
dengan mereka:
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, berarti ia termasuk golongan
kaum tersebut.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syekh
al-Albani v dalam Shahih al-Jami’ : 6025).
Kemaksiatan pertunangan seperti ini akan semakin besar jika cincin
yang digunakan adalah cincin emas, padahal islam melarang kaum lelaki
memakai perhiasan emas.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi –
shallallahu ‘alaihi wa sallam – melihat seorang lelaki yang memakai
cincin emas di tangannya, maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa
sallam – mengambil cincin tersebut lalu melemparnya seraya berkata,
“Akankah salah seorang di antara kalian dengan sengaja menuju bara api
neraka lalu meletakkannya di tangannya?!” Kemudian para sahabat pun
berkata kepada lelaki tadi setelah berlalunya Rasulullah – shallallahu
‘alaihi wa sallam – , “Ambil cincinmu dan gunakanlah untuk hal yang
lain.” Ia pun menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan mengambil apa
yang telah dilempar oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.”
(Diriwayatkan oleh Muslim no: 2090)
Bolehkah meninggalkan tunangan?
Pertunangan itu tidak mengikat, artinya boleh bagi keduanya
membatalkan pertunangan jika memang tidak ada kecocokan di antara mereka
berdua atau ada maslahat lain. Karena memang pertunangan hanyalah
“janji keinginan”, bukan perjanjian yang mengikat. Sehingga jika salah
satu pihak ingin hasratnya menikahnya meninggi, kemudian pihak lain
belum siap, maka pihak yang hasratnya menikahnya tinggi boleh
membatalkan pertunangan dan menikah dengan wanita atau laki-laki lain.
Sedangkan dosa atau tidak, dilihat dari alasan pembatalan pertunangan
tersebut. Jika memang salah satu pihak membatalkan pertunangan karena
melihat ada maslahat yang lain, atau mungkin salah satu pihak sudah
benci, tidak lagi cocok dengan tunangannya karena melakukan kemaksiatan
atau pelanggaran lainnya, maka ia tidak berdosa. Namun, jika ia
membatalkan pertunangan tanpa ada sebab sama sekali, maka ia berdosa
karena telah ingkar janji.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menegaskan,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخَلَفَ
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga, yaitu jika berbicara ia berdusta,
jika diberi kepercayaan ia khianat, dan jika berjanji ia mengingkari.”
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Ukhti yang saya hormati … Jika pertunangan Anti termasuk pertunangan
yang hanya janji kesepakatan untuk menikah tanpa diiringi
pelanggaran-pelanggaran syariat dan tunangan Anti termasuk lelaki yang
taat beragama, berakhak mulia, Anti pun juga mencintainya, maka
diskusikanlah dengan keluarga dengan kepala dingin. Ajaklah orang tua
musyawarah mencari solusi dari alasan-alasan orang tua anti yang
melarang anti untuk melanjutkan pertunangan anti menuju pernikahan.
Kemudian, mintalah kepada tunangan Anti untuk melamar Anti dan
mempercepat hari pernikahan sehingga tidak terombang-ambing oleh fitnah
syahwat karena harus menahan dari saling bertemu lebih lama lagi.
Namun, jika pertunangan Anti adalah pertunangan yang diiringi
kemaksiatan dan pelanggaran syariat, seperti sering telpon, khulwat,
bergandengan tangan, dan seterusnya, maka tindakan Ukhti untuk
meninggalkan tunangan tentunya tindakan yang telah tepat dan benar demi
menjaga agama dan kehormatan. Demikian, semoga memberi pencerahan kepada
kita. (***)
0 comments:
Post a Comment