Assalamualaikum….Saya seorang lelaki berusia 29 tahun, saya
sudah berkeluarga selama 7 tahun dan sudah dikaruniai 2 orang putra.
Permasalahannya, saya punya istri yang sering membohongi saya. Istri
saya sudah berkali kali terlibat permasalahan hutang dengan orang lain
dan semuanya tanpa sepengetahuan saya, hingga pada akhirnya saya juga
yang menutup semua hutang-hutangnya meskipun saya tidak tahu ke mana
perginya uang hutang tersebut. Setiap dia kepergok saya ketika
berhutang, selalu saja dia merengek-rengek akan berubah dan ketika saya
tanya untuk apa uangnya dia selalu mengatakan tidak tahu, bahkan katanya
dia seperti tidak sadar melakukan hutang tersebut, tapi entah itu
karena saya bodoh atau bagaimana, saya selalu saja memaafkan dan menutup
hutang-hutangnya Hingga yang terakhir ini dia terlibat hutang dengan rentenir hingga
ratusan juta dan uang beserta tabungan saya juga sudah ludes, namun
belum cukup juga untuk menutup semua hutangnya. Saat ini dia
dipenjarakan orang karena masalah hutang tersebut ustadz.
Saya selalu berdoa kepada Allah untuk menunjukkan jalan apa yang
harus saya tempuh, apakah tetap mempertahankan rumah tangga, atau
mengakhirinya dengan cara cerai…… Yang membuat bingung saya, semakin
hari Allah semakin menunjukkan keburukan yang telah diperbuat istri
saya, apakah itu tanda Allah agar saya menceraikannya atau itu sekadar
ujian Allah untuk mengetahuai sebesar apa cinta saya kepada amanah-Nya?
Apakah saya harus meninggalkannya di saat seperti ini…? Jika saya
berpikiran meninggalkannya, selalu saja muncul rasa kasihan kepadanya
karena ingat akan anak-anak kami, apalagi kami di perantauan. Bagaimana
ini ustadz, mohon petunjuknya yang sejelas-jelasnya. Terima kasih.
Wassalamualaikum
Jawaban
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Akhi yang saya hormati…
Rumah tangga seseorang tidak selamanya mulus berjalan sesuai harapan
pasutri. Problematika keluarga pastilah muncul menghadang. Yang sangat
disayangkan, ada tipe-tipe suami yang sangat mudah menceraikan istrinya,
dan di sisi lain banyak juga suami yang tidak berani menceraikan
istrinya, karena besarnya rasa kasihan terhadap anak-anaknya atau karena
faktor-faktor lain. Padahal, ia harus menanggung beban dan tidak
mendapatkan kebahagiaan sama sekali dari rumah tangga yang ia bina
selama ini.
Agar seorang suami tidak salah langkah, perlu diketahui bahwa Islam
memang mensyariatkan perceraian dengan batasan-batasan yang jelas dan
menjadikan perceraian itu di tangan suami. Artinya, suami memiliki hak
untuk menceraikan istrinya jika ia mendapatkan sebab untuk menceraikan
istrinya.
Kapan boleh cerai?
Hukum asal perceraian adalah makruh, berdasarkan firman Allah,
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) menjatuhkan talak,
maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(al-Baqarah: 227)
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah- menegaskan,
“Ayat ini mengisyaratkan adanya ancaman bagi yang menceraikan istrinya,
hal ini menunjukkan bahwa perceraian itu hal yang tidak dicintai Allah.”
(Syarhul Mumti’ XIII/8)
Akan tetapi, perceraian dibolehkan jika memang suami membutuhkan
perceraian, mungkin karena buruknya perangai istrinya atau perbuatan
istrinya yang tidak ia sukai. Perlu diketahui juga, perceraian juga bisa
haram, sunah, bahkan wajib. Semuanya dikembalikan kepada sebab
perceraianya tersebut.
Jika seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid atau suami
akan terjerumus dalam zina jika menceraikannya, maka perceraian dalam
kondisi seperti ini hukumnya haram.
Jika seseorang menceraikan istrinya disebabkan lalainya istri
terhadap kewajiban-kewajibannya terhadap Allah, seperti shalat atau
bahkan mungkin istrinya tidak menjaga kesucian dirinya, maka meceraikan
istri dalam kondisi seperti ini hukumnya sunah.
Bahkan perceraian bisa menjadi wajib hukumnya, yaitu ketika suami
telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dan ia tidak mau rujuk
dari perkataannya, atau ketika rumah tangga tidak mungkin disatukan
kembali dan hakim telah memutuskan untuk memutus tali pernikahan mereka
berdua.
Adapun kasus Akhi, maka hukumnya adalah boleh dan Antum tidak berdosa jika memilih untuk menceraikan istri.
Yang menjadi ganjalan dan beban Antum, bagaimana dengan anak-anak dan
juga istri yang tinggal jauh dari keluarga? Tadi disebutkan bahwa talak
saat suami tidak mampu bersabar menghadapi perilaku dan perbuatan
istrinya adalah boleh. Namun, jika memang suami merasa kasihan terhadap
anak-anak dan juga istri yang tinggal sendirian jauh dari keluarga, maka
bagi suami dalam kondisi seperti ini bersabar lebih utama, yaitu
bersabar untuk tidak menceraikan istrinya terlebih dahulu.
Allah menegaskan,
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (an Nisa’ : 19)
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah, jika ia
tidak menyukai satu perangainya, bisa jadi ia suka perangainya yang
lain.” (Diriwayatkan oleh Muslim no: 1467)
Akhi yang saya hormati … Istri yang tidak mau menuruti perkataan
suami, bahkan selalu membantah setiap perintahnya yang benar dari sisi
syariat, atau seperti kasus yang Antum sebutkan, maka dapat
dikategorikan sebagai istri yang telah berbuat nusyuz (durhaka). Istri
seperti ini berdosa karena telah meninggalkan sebuah kewajiban yaitu
taat kepada seluruh perintah suami selama tidak dalam kemaksiatan.
Adapun sikap suami yang ingin bersabar (tidak langsung
menceraikannya), ia bisa melakukan beberapa tahapan dalam menasihati
istri sebagaimana firman Allah,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi maha Besar.”
(an-Nisaa: 34)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan beberapa langkah yang harus
dilakukan oleh suami sebagai pemimpin keluarga untuk membimbing dan
mengarahkan istri kembali ke jalan yang benar, yaitu:
1. Hendaklah suami menasihati istrinya dengan cara yang baik. Yaitu
dengan mengingatkan istri akan kewajiban-kewajibannya yang mesti
dijalankannya serta mengingatkan bahwa Allah menjanjikan pahala yang
besar jika ia mampu menunaikannya dan siksaan yang sangat pedih jika ia
melanggarnya.
2. Memisahkan istri dari tempat tidurnya, membelakanginya ketika
tidur, atau tidak mengajak berbicara, dan yang semisalnya dengan tujuan
untuk memberi pelajaran kepada istri. Biasanya seorang istri akan merasa
tersiksa jika suami memperlakukan demikian karena seakan-akan suami
sudah tidak memperhatikannya lagi.
3. Memukul istri dengan pukulan yang tidak menyakiti, tidak di muka,
dan juga tidak lebih dari sepuluh kali. Ini adalah langkah yang
terakhir, jika langkah pertama dan kedua sudah tidak mempan lagi untuk
menyadarkan istri. Perlu diingat, tujuan pukulan di sini adalah
menyadarkan istri akan kewajiban-kewajibannya.
Jika ketiga langkah ini telah ditempuh, namun belum membuahkan hasil,
maka perlu mendatangkan juru damai dari pihak ketiga untuk memberikan
nasihat dan perbaikan.
Allah befirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ
وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ
بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (٣٥)
“Jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, kirimlah
seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan dari keluarga
perempuan. Jika keduanya bermaksud memberikan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami istri itu.” (an-Nisa: 35)
Jika semua cara sudah ditempuh, tetapi sikap istri masih tetap tidak
berubah, maka talak merupakan solusi terakhir. Semoga Allah senantiasa
membimbing kita untuk melakukan perbuatan yang Ia ridhai. (***)
0 comments:
Post a Comment