Pertanyaan:
Assalammualaikum. ana baru nikah 2,5 tahun ini. Sekarang usia ana 24
tahun, hingga kini ana belum punya keturunan, aktivitas ana sebagai
pengampu tahfidz di sebuah rumah penghafal Al-Quran. Istri ana pengajar
di salah satu TKIT.
Ada sebuah peristiwa di awal pernikahan ana, bermula dari
ketidakamanahan istri dalam hal uang. ana titipkan uang 3 juta ke ATM
nya,niat ana nanti setelah wisuda ana akan gunakan uang itu untuk pulang
ke kampung bertemu orang tua ana, tapi setelah ana selesai wisuda dan
kemudian ana tanyakan uang yang di ATM, istri ana hanya mengangis dan
mengatakan kalau uangnya sudah di pakai. Akhirnya dia bisa mengembalikan
uang itu,dan ana ingin berbenah dengan memaafkan istri.
Kemudian, muncul masalah berikutnya. Datang orang-orang yang menagih
hutang kepada ana sebagai suaminya,yang sebenarnya ana tidak tahu
menahu. ternyata setelah ana telusuri, hutang itu terjadi saat dia masih
bujang. Jumlahnya jutaan,sampai ana di beri saran oleh orang tua agar
membicarakan dengan keluarga istri,karena status hutang itu adalah
sebelum menikah. Setelah itu selesai, muncul lagi masalah baru. Di suatu
malam dia menangis terisak-isak, katanya besok pagi pembagian tabungan
anak-anak TKIT kelasnya yang jumlahnya 3,7 juta, dan uang sejumlah itu
tidak dia pegang sepeser pun,alasan dia cuma satu, sudah di pakai untuk
kebutuhan hidup. Tidak banyak pikir, ana langsung saja mengusahakan uang
itu.
Perasaan ana sungguh hancur, bahkan orang tua ana sangat menganjurkan
untuk menceraikannya saja. Tapi ana tidak bisa melihat dia menghiba
agar ana tidak meninggalkannya,dia juga berjanji tidak akan mengulangi
kesalahannya.
Hingga suatau saat,ana ditagih hutang oleh beberapa teman ana,
tiba-tiba ana berfikir ingin mencoba meminjam uang kepada temannya istri
yang sudah sangat akrab,karena sering sekali temanya istri berkunjung
ke rumah,entah urusan apa,sampai ketika berangkat ke TK pun sering
bareng.
Waktu berjalan dan akhirnya ana jadi mengenal dekat teman istri ana
tersebut,yang awalnya ana hanya sebatas tahu saja bahwa dia teman istri
ana. Fan ana sering mengangsur uang yang ana pinjam darinya tersebut
dengan langsung tanpa perantara,dan memang cara ana salah karena ana
juga mengembalikan uang tersebut dengan bertemu dia di suatu tempat yang
sudah ana dan dia sepakati. Dasarnya memang ana masih trauma dengan
ulah istri ana.
Akhirnya, ana sangat berniat untuk menikahi teman istri ana
tersebut,ana pun sudah secara baik-baik berdialog dengan istri ana,
akhir dari dialog tersebut, istri memberikan lampu hijau,dan bahkan dia
mengungkapkan niatan ana tersebut langsung kepada temanya itu. Kini
apakah yang harus ana lakukan, sebab teman istri menyerahkan boleh
tidaknya hidup berpoligami kepada ke dua orang tuanya, ana juga agaknya
bingung mengatur strategi karena ada beberapa hal yang ada ada dalam
hati ana.
1. Ana sangat suka dengan sosok teman istri ana itu.
2. Istri ana mendukung 100%
3. Bagaimana untuk mewujudkan ini menjadi nyata dalam bingkai syari’at Allah?
4. Siapakah yang bisa membantu ana untuk membersamai mewujudkan niatan ini.
5. Bagaimana bila ditolak?
Mungkin dari apa yang telah ana paparkan ini,kiranya ustadz bisa
memberikan pengarahan kepada ana agar langkah ana dalam mewujudkan
niatan ini tetap dalam koridor syar’i Allah. Jazakumullah khairan
Jawaban :
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saudaraku …
Semua pasutri mendambakan rumah tangga yang tenteram dan langgeng.
Namun, tidak jarang sebuah bingkai rumah tangga diterpa berbagai batu
cobaan dan ujian. Demikian pula apa yang sedang antum hadapi adalah
cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya dalam menjalankan
ketaatan kepada-Nya. Untuk menguji seorang suami dalam menjalankan
kewajiban-kewajibannya.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (al Mulk : 2)
Langkah awal yang harus dilakukan adalah bersabar dan berusaha
memperbaiki kesalahan istri serta membimbingnya. Memang benar bahwa
perbuatan istri yang membelanjakan harta suami tanpa sepengetahuan suami
merupakan bentuk durhaka istri terhadap suami.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam - bersabda,
لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 670. Dan dihasankan oleh Syekh al-Albani)
Tapi, di sisi lain, suami adalah pemimpin keluarga yang harus
berusaha untuk meluruskan istri jika bengkok. Untuk membimbing istri,
suami bisa menempuh metode yang telah digariskan oleh islam yaitu apa
yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (kedurhakaanya
terhadap suami), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (an Nisa: 34)
Dari ayat ini bisa ditarik kesimpulan, bahwa langkah untuk membimbing istri yang durhaka kepada suami adalah:
1. Menasihatinya dengan lemah lembut, yaitu dengan mengingatkan akan
kewajiban seorang istri terhadap suaminya dan besarnya dosa seorang
istri yang durhaka terhadap suaminya.
2. Memboikotnya dengan sesuatu cara yang membuat dirinya jera,
seperti pisah ranjang atau tidak menggaulinya. Tentunya dengan cara
baik, yaitu tidak sampai mengusir istri dari rumah dan tidak
disebarluaskan.
3. Pukulan yang tidak menyakiti, yaitu pukulan yang tidak keras dan
bukan pada anggota tubuh yang terlarang untuk dipukul. Karena tujuan
pukulan adalah pukulan mendidik untuk mengingatkan kesalahan istri.
Jika memang ketiga cara ini tidak membuahkan hasil, maka keputusan
dikembalikan kepada suami. Jika ia hendak menceraikannya, maka syariat
membolehkannya dan jika masih berharap perubahan dari istrinya, maka
syariat juga membolehkan. Tentunya, keduanya dilakukan dengan baik dan
bijaksana.
Allah berfirman:
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (al Baqarah: 229)
Bolehkan poligami untuk mengobati kekecewaan?
Adapun keinginan antum untuk berpoligami, maka pada asalnya Islam
juga membolehkan poligami. Apalagi istri pertama antum mendukung antum.
Allah berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلا تَعُولُوا (٣)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’ : 3)
Akan tetapi, ada syarat-syarat yang dipenuhi sebelum berpoligami, yaitu:
a. Mampu berbuat adil
b. Mampu menjaga dirinya dari fitnah istri yang bisa membuat dirinya
lalai dari kewajiban-kewajibannya untuk beribadah kepada Allah.
c. Mampu menjaga kehormatan istri-istrinya dan memberikan perlindungan kepada mereka.
d. Mampu memberi nafkah kepada istri-istrinya
Lalu, apa usaha yang bisa ditempuh untuk mewujudkan keinginan
berpoligami? Yang pertama, hendaknya seseorang yang ingin poligami
kembali melihat dan menilik ulang niatnya, apakah benar ia berniat untuk
menjalankan syariat islam atau hanya tuntutan hawa nafsu. Kemudian
bertawakal kepada Allah jika ia memutuskan untuk berpoligami setelah
menimbang maslahat dan memenuhi syarat –syarat untuk berpoligami.
Yang kedua, hendaknya ia datang baik-baik kepada wali wanita yang
ingin dijadikan istri kedua, mengkhitbah. Jika diterima, alhamdulillah,
jika memang belum diterima, maka ia harus bersabar dan yakinlah bahwa
Allah telah menggariskan takdir baginya yang lebih baik dari apa yang
dikira.
Perlu ditekankan di sini, izin wali wanita yang ingin dijadikan istri
kedua adalah syarat sah pernikahan. Adapun izin dari wali atau orang
tua istri pertama bukanlah syarat sah pernikahan. Meskipun lebih baik
poligami tersebut disepakai oleh semua pihak.
Adapun pertemuan langsung tanpa hijab dan bukan karena keperluan
mendesak yang dibenarkan syariat, maka hendaklah dihindari dan dijauhi.
Karena khulwah adalah perbuatan dosa. Rasulullah b menegaskan,
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan sekali-kali
ia berdua-duaan dengan wanita (ajnabiyah/ yang bukan mahram) tanpa
disertai oleh mahram si wanita karena yang ketiganya adalah setan.”
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Demikian, semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam. (***)
0 comments:
Post a Comment